On Films: Mental Illness in Indonesia

“Afflictions: Culture & Mental Illness in Indonesia” is a documentary film series that examines the lives of severely mentally ill people living on the Indonesian islands of Bali and Java.  “Afflictions” is based on more than a decade of clinical ethnographic research conducted by documentary filmmaker and anthropologist Dr. Robert Lemelson.

Saya baru menemukan sebuah situs yang menurut saya bagus sekali, berisi serial film-film pendek tentang budaya Indonesia dan orang-orang yang menderita penyakit mental.

Nama situsnya Afflictions: Culture and Mental Illness in Indonesia Film Series.


Video diatas bercerita tentang Ni Ketut Kasih, seorang wanita Bali yang menderita bipolar disorder. Dalam kehidupan sehari-hari beliau adalah seorang pengibadah yang taat. Namun ia sering terpicu stres dan kecemasan (anxiety) terutama jika akan mempersiapkan kegiatan-kegiatan keagamaan besar. Jika sedang ‘kumat’, dia seringkali tidak berada di rumah, sampai keluarganya harus mencari-carinya.

Ada juga Wayan Yoga, seorang anak muda Bali yang menderita Tourette’s syndrome. Atau mas Estu Wardhani, yang menderita gangguan neuropsikiatrik di tengah-tengah keluarga Jawa yang terhormat.

Situs ini total memiliki enam buah film pendek tentang penyakit mental di Indonesia, khususnya pulau Jawa dan Bali: “Memory of My Face,” “The Bird Dancer,” “Family Victim,” “Ritual Burdens,” “Shadows and Illuminations” dan “Kites & Monsters”. Video yang dimuat di situsnya memang cuma cuplikan aja. Jika ingin menontonnya secara lengkap, harus beli DVD-nya. 😦

Film-film ini bertujuan untuk memberikan gambaran global mengenai bagaimana keluarga dan kerabat menghadapi dan berusaha mengontrol anggota keluarganya yang ‘bermasalah’. Serta bagaimana budaya lokal memengaruhi kondisi orang dengan penyakit mental, baik secara positif maupun negatif.

Bad coconut

Dari cerita mas Estu, saya ingin sedikit mengutip istilah jawa yang bunyinya (menurut sependengeran saya), “kambil sak jenjang kok ndadak ra ono kopyore siji”. Maksudnya, dalam satu kumpulan buah kelapa, ada satu yang buahnya jelek. Dari delapan anak yang dimiliki orangtuanya, mas Estu lah yang dinilai paling keras kepala dan pemalas.

Saya bisa me-relate di bagian itu sebab keluarga saya sendiri ‘mengibaratkan saya’ dengan cara yang serupa. Walau saya nggak punya saudara kandung, tapi saya dekat dengan sepupu-sepupu saya sejak kecil. Dan saya tumbuh dengan mencoba mencontoh mereka meski selalu berakhir dengan self-esteem yang semakin terpuruk karena saya tidak bisa secerdas mereka atau orang lain.

Jujur saja, di satu sisi saya membenci karena bagaimanapun, mereka tidak tahu bagaimana rasanya jadi si buah busuk yang gagal, the bad coconut. Tapi di sisi lain, saya tahu saya bisa memperoleh bantuan dimulai dari diri sendiri. Saya sendiri yang harus punya keinginan kuat untuk bisa stabil, saya sendiri yang harus menjelaskan tentang apa yang saya rasakan secara baik-baik dan terbuka.

Seharusnya bukan hal tabu untuk dibicarakan dalam keluarga

Mungkin di sekitar kita, orang lebih mudah menyebut orang berpenyakit mental sebagai ‘gila’, tidak waras, susah diatur, berandal dan sebagainya. Namun sebenarnya, kebanyakan orang dengan penyakit mental tidak bisa mengontrol apa yang mereka pikirkan dan rasakan.

Persepsi seorang penderita penyakit mental bisa ‘sedikit’ berbeda dari orang lain. Sebagai caregiver, keluarga dan kerabat yang merawat seorang dengan penyakit mental memang dituntut untuk bersabar dan memahami apa yang dirasakan anggota keluarganya. Seperti keluarga Ni Ketut Kasih dalam kisah diatas.

Menurut saya, penyakit mental seharusnya bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dalam keluarga. Kasus ini sama dengan penyakit lainnya seperti gangguan syaraf otak, dan harus diberikan perhatian medis yang benar. Saya beruntung karena akhirnya saya bisa mendapatkan bantuan medis walau tidak selalu kontinu, tapi saya sadar masih banyak orang lain diluar sana yang belum mendapatkan penanganan yang dibutuhkan.

Setiap orang punya cerita masing-masing dalam menjalani kehidupan. Kita tidak bisa menilai orang lebih baik atau buruk hanya dari satu sisi hidupnya saja. Kita semua punya hak dan kewajiban yang sama atas kehidupan yang lebih baik, dengan cara-cara kita sendiri.

(Sori kalo ceritanya jadi panjang dan mengandung curcol. 😛 Dan maaf jika ada pendapat saya disini yang salah, karena saya tidak punya latar belakang di dunia medis.)

Anyway, let’s have a good life. 🙂

26 pemikiran pada “On Films: Mental Illness in Indonesia

  1. pernah ada teman SD ku diputus pacarnya, stress dan jadi *gila* kata semua tetangganya, yg mengenaskan, temanku itu hilang entah ke mana sampe skrg tak ditemukan, bapaknya cerita ke aku satu hari sambil matanya berkaca kaca, padahal dia dan keluarganya sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga anak gadisnya itu.

    mungkin masyarakat kita belum mengenal dan mengetahui secara rinci penyakit spt ini ya, akupun msh bingung tingkat tingkatannya, mungkin yg msh ada semua disamaratakan dgn keadaan *gila* itu

    situs di atas tentunya bagus ya buat memahami lbh jaug ttg penyakit ini.

    • betul mbak. ada banyak alasan yang menyebabkan orang jiwanya terganggu. tapi ada banyak pula cara yang bisa dilakukan untuk menanganinya. perawatan secara medis digabungkan dengan treatment rohani/relijius itu saya rasa sangat penting dan bermanfaat. 🙂

  2. Kalau saja kita sendiri memahami hakikat kenapa ada ‘the bad coconut’ itu dalam keadaan di sekitar kita, kita pasti bisa jauh lebih menghargai kondisinya.

    Melihat balik ke diri sendiri, mungkin Ilham percaya, mungkin juga enggak, pada posisinya, selama SMP dan SMA semua orang menempelkan ‘bully’ di atas jidat kalau aku itu “gila”, beberapa orang sempat bilang kalau aku ‘bipolar’, karena aneh dan juga gak dimengerti.

    As time goes by, semua itu tetap membawa hikmah Ham. Tergantung bagaimana cara kita memaknai karunia yang Allah beri.

    Gak ada ‘anugerah’ yang lebih baik, yang Allah kasih, selain dalam bentuk ‘keistimewaan’2 yang kita rasakan selama ini. Do you agree with that Ham? 🙂

    • i do agree mas teguh. 🙂 selalu ada sisi positif dan kondisi dan situasi buruk yang kita alami. bahkan terkadang menyampaikan pengertian kepada orangtua atau orang lain tentang kondisi saya, terasa seperti sebuah misi kecil untuk menunjukkan bahwa begini lho macem-macemnya ciptaan Allah itu. hehe

  3. Penyakit mental memang masih menjadi fenomena tersendiri untuk masyarakat. Dan tidak hanya di kita, tapi juga di dunia. Usaha-usaha untuk menyembuhkan penyakit mental terus berjalan, fasilitas terus dibangun, tapi saya tetap sangat setuju dengan pendapat di atas: yang paling utama, kita harus tanggap. Jangan anggap ini sebagai hal tabu. Memendam-mendamnya hanya akan menjadikannya lebih parah.

    • iya mas alkadri. kadang ada keluarga yang menganggap hal seperti penyakit mental sebagai hal yang demikian sensitif dan dijaga supaya jangan sampai keluar atau kalau bisa anggota keluarga yang lain nggak perlu tahu.
      padahal satu hal yang punya daya penyembuhan selain obat2an adalah doa dan keyakinan keluarga bahwa si ODMK (orang dengan masalah kejiwaan) bisa berubah jadi lebih baik.

    • kalo bipolar itu gangguan mood yang ditandai dengan dua episode manik dan depresif. kalo tourette syndrome itu gangguan syaraf yang ditandai dengan gerakan yang berulang2. (saya juga kurang paham yang ini) lebih jelasnya klik aja deh linknya, mew. hehe

  4. Semoga saja kesintingan saya tidak menjadi sesuatu yang tabu atau di anggap tabu bagi sebagian orang yang tidak bisa menerima keadaan bahwa mental adalah bagian dari jiwa yang bisa bergerak dan berubah menjadi penguasa raga yang telah kalah.

    Selama artikel itu bisa memainkan peranya, jangan pernah segan apalagi takut untuk menulis posting panjang.
    Salam saudaraku..

  5. Kita semua sebetulnya rentan stress karena kesibukan maupun aktivitas yang berbeda. Hanya saja tingkat stressn ya ada yang tinggi ada yang biasa2, ada yang terkendali ada yang tak terkendali. Yang tidak terkendali inilah yang gawat bisa mengarah pada depresi, pemulihannya pun akan memakan waktu.

  6. Kalau Ayan termasuk Penyakit mental bukan ya ?, Keluarga Saya seperti itu soalnya… membuat keluarga lebih sering dilecehkan sekitar, tapi ya sudah Allah memberikan Sesuatu itu tidak dengan sia sia kan (^_____^”)

    • iya sepertinya ayan atau epilepsi itu disebabkan oleh syaraf ya… keluarganya pasti sudah menghadapi hari2 yang berat ya dengan anggapan orang yang tidak mengerti tentang keadaan yang sebenarnya. semoga kesabaran keluarganya dibalas setimpal oleh Allah dengan berkah yang melimpah. Amin.

      • Aminnn . . . Yupz Hari Hari yang berat tapi ia mampu melewatinya bahkan membesarkan 3 Anaknya hingga saat ini \(n_n) – semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang banyak – Aamiin \(^0^)/

Tinggalkan Balasan ke Ely Meyer Batalkan balasan