B Complex Mengurangi Lemak dan Anxietasku

DSC01246

Perut buncit saya secara konstan kehilangan gelambirnya sejak minum vitamin B complex sekitar semingguan ini. Saya memerhatikan dengan bangga di cermin bagaimana perut saya menyusut dalam beberapa hari ini. Masih buncit sih tapi jauh lebih susut dari biasanya.

Beberapa hari setelah mengonsumi 3-5 butir vitamin B complex 2mg per hari, saya merasa sangat berenergi dan bervitalitas. Ini sangat membantu gejala-gejala Bipolar saya dan anxietas/kecemasan. Tekanan di dada dan kepala karena anxietas menghilang. Nafas saya lebih teratur. Tapi saya masih mengalami social anxiety saat berada di luar/tempat umum. Meski menurut saya itu bisa pelan-pelan diatasi dengan cara berlatih dan dibiasakan. Yang terpenting adalah saat ini saya merasa lebih baik.

Satu lagi masalah yang masih ada adalah masalah tidur. Saya nggak tahu apakah ini karena vitamin yang saya konsumsi atau memang dari sayanya, tapi saya ngerasa semakin susah tidur terutama di malam hari. Tidur sejam, bangun lagi. Itu pun tidurnya nggak nyenyak dan banyak mimpi yang bikin kepala mumet. Saya baru bisa tidur panjang menjelang subuh.

Efek lain yang saya rasakan adalah berkurangnya nafsu makan. Kalaupun makan, nggak bisa banyak-banyak (mudah kenyang). Kadang saya makan tengah malem pas berasa agak laper. Dan itu nggak menghentikan kinerja vitamin B complex membakar lemak di perut saya. Bangun pagi saya ngerasa lemes banget kayak abis lari keliling lapangan 10 kali. Tapi pas ngeliat di cermin, perut saya udah susut lagi tuh. (Saya sampe sempet berkhayal jangan-jangan ada alien yang datang dan melakukan eksperimen dan mengambil lemak dari perut saya.) =_=’

Dari sebuah sumber, B complex disebutkan berkhasiat memecah nutrisi makro dari karbohidrat, glukosa, lemak hingga elemen-elemen lain yang berfungsi untuk menjaga, merawat dan menumbuhkan. Baik untuk fungsi normal syaraf, menjaga kesehatan rambut dan kuku. Mempercepat metabolisme yang berarti pembakaran lemak yang lebih cepat pula.

Lemak-lemak saya di tempat lain seperti paha dan lengan masih menggelambir penuh kejayaan di tempatnya. Tapi ini lumayan jadi penyemangat saya untuk berusaha mengecilkan lemak di bagian-bagian lainnya.

Berikut saya daftar hal-hal saya rasakan setelah mengonsumi vitamin B complex selama seminggu lebih:

  1. Lebih bertenaga dan bervitalitas
  2. Lebih mudah fokus
  3. Anxietas/kecemasan berkurang secara signifikan
  4. Mengurangi nafsu makan
  5. Agak lebih susah tidur
  6. Mengurangi lemak

Vitamin yang saya konsumsi mengandung B1, B2, B6, B12, Calcium Pantothenate dan Nicotinamide. Ada juga yang mengandung asam folat dan bisa dibeli di apotek-apotek dengan harga terjangkau mulai Rp10,500-18,000-an.

Saya nggak mengatakan vitamin B complex adalah obat bagi Bipolar. Tapi saya bisa bilang vitamin B complex sangat baik untuk dikonsumsi sebagai pendongkrak vitalitas, terutama di kala depresi saat energi terasa terkuras, tidak bersemangat dan mudah lelah. Dan sangat membantu bagi yang lagi diet karena mampu mempercepat metabolisme.

Disiplin Mental Sebagai Anak Tunggal Dengan Bipolar

disiplin mental

Hari ini 30 Maret 2014 ditetapkan sebagai HARI BIPOLAR SE-DUNIA. Tapi saya disini bukan mau cerita tentang Bipolar secara khusus. Melainkan sesuatu yang nggak kalah pribadi maknanya bagi saya, yaitu disiplin mental sebagai anak tunggal.

Mungkin ini salah satu efek menjadi anak tunggal: saya terbiasa berusaha melakukan semuanya sendiri.

Meski saya canggung secara sosial, sebagai orang yang terbiasa sendirian jujur aja saya masih suka punya penilaian yang agak nyinyir terhadap “ketergantungan” orang terhadap orang lain dalam kehidupan sosial. Karena kadang orang mudah terpengaruh dan menjadi lemah karena bergantung pada opini, tren dan standar orang lain.

Kadang saya berpikir kenapa orang nggak berusaha menyokong kebahagiaannya sendiri dengan memanipulasi atau menerapkan disiplin pada mental. Tapi akhirnya saya sadar, bahwa sebenernya saya yang memiliki mental yang lemah karena saya takut, nggak mau membiasakan dan akhirnya nggak mampu meng-handle berbagai jenis manusia, situasi dan keadaan.

Dalam situasi yang terlalu menyita emosi, saya bisa benar-benar pergi meninggalkan situasi dan tempat tersebut dan nggak kembali lagi. Saya lebih mudah berada di sekitar orang-orang yang “mampu menghargai dirinya sendiri” dalam arti orang-orang yang berhati besar yang mampu dan terbiasa menghandle orang-orang lemah dan insecure seperti saya.

Namun kebanyakan waktu saya lebih suka sibuk sendiri dengan pikiran sendiri. Kalau disimpulkan, mungkin saya bukan mencoba menerapkan disiplin mental, tapi saya hanya berusaha terlalu keras melindungi diri dan mengendalikan segalanya secara sadar karena takut gangguan mental saya mengacaukannya. Walau mungkin bisa juga dibilang sebaliknya, bahwa gangguan kejiwaan saya membuat saya lebih waspada terhadap tidakan-tindakan saya.

kognitif

Semua berawal dari pikiran.

Intinya, disiplin mental itu adalah kebiasaan yang sangat bermanfaat. Semua tindakan, kebiasaan dan perasaan berasal dari pikiran (lihat grafik diatas). Kita bisa mulai mengolah mental dari situ. Jika biasanya kamu gampang curiga atau patah hati jika hal-hal nggak terjadi sesuai keinginan, kamu bisa memikirkan kemungkinan lain dari situasinya yang lebih mendamaikan, supaya kamu bisa ngerjain hal lain yang lebih bermanfaat. Ingat aja, lebih baik merasa damai daripada merasa benar.

Apalagi jika kamu adalah rekan penderita gangguan kejiwaan. Jangan biarkan gangguan kejiwaan ‘mendefinisikan’ cara pandangmu. It’s not you. Karena pada dasarnya kita nggak pernah mau menyakiti atau membuat siapapun sedih.

Penyakit ini hanyalah ketidakseimbangan kimiawi di otak, trauma masa lalu yang tak lagi bisa menyentuh dan menyakitimu. Jangan biarkan dia menjadi kelemahan pribadi, meski dia ingin kita begitu. Sebaliknya, jadikan diri kamu ahli dalam menjinakannya.

Sementara itu, saya masih harus belajar hidup bersama orang lain.

WBD Logo

Manic

Sebenernya saya ini lagi episode manik (energi berasa berlebih), makanya rajin banget nulis-nulis. Ini dan beberapa tulisan belakangan sebenernya tulisan terjadwal. Hari ini aja saya udah nulis dua postingan, sama yang ini jadinya tiga. Cuman nggak mau dipublish sakblas, emang pengen biar blognya kelihatan update satu tulisan satu hari.

Itu kalo ngomong enaknya episode manik. Negatifnya, episode ini juga bikin kita gampang kesel, gelisah dan nggak bisa diem. Ada hal yang dirasa nggak pas aja langsung bawaannya pengen ngomel-ngomel atau marah. Kayak pas di jalan, ada pengendara motor yang bunyiin klaksonnya intens banget. Padahal dia bunyiin itu supaya ngasih tanda karena dia lagi merayap melawan arah di pinggir aspal. Bagi saya itu tuh nyebelin banget! Walau mungkin dalam keadaan normal hal kayak gitu udah biasa terjadi di jalanan setiap hari. Saya nggak habis pikir dan mulai ngomel-ngomel sendiri tentang keegoisan itu orang dan seterusnya… Hadeh.

Walau gitu, tetap ada yang bisa mendinginkan hati lagi. Salah satunya adalah dengerin musik. Saat ini saya lagi seneng sama lagu Raindrops Keep Falling On My Head yang dinyanyiin B.J. Thomas, dan musik klasik yang bikin santai, Gymnopédie No.1 oleh Erik Satie.

 

>> Tips Mengatasi Rasa Kesal

Curcol: Berusaha Menjadi “Manusia” Lagi

DSC01222

Sejujurnya saya iri dan ‘patah hati’ melihat banyak orang-orang dengan Bipolar yang tetap mampu membawakan kehidupan yang cukup sukses bagi standar saya. Menyelesaikan pendidikan, menjalani pekerjaan tetap, bahkan membesarkan sebuah keluarga.

Kalau membahas kenapa begini-begitu sebenernya bisa aja ditelusuri, tapi saya rasa sebelum itu saya coba sajikan, penjelasan-penjelasan itu nggak akan penting lagi bagi orang lain. Karena tentu saja yang terpenting adalah bagaimana tindakan saya selanjutnya.

Intinya saya punya banyak pekerjaan untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan nyata dengan kapasitas saya. Saya selalu berusaha melakukannya sejak kecil dan selama beberapa tahun ini saya sedang menyerah dan lelah serta memilih menjadi diri sendiri yang bebas tapi tak stabil dan tak terarah.

Mungkin kali ini saya harus mencoba lagi berusaha “menjadi diri saya versi manusia nyata” dengan cara yang benar dan tepat, serta lebih giat. Karena dokter saya dan orang lain juga mengatakan semua itu bisa dilatih dan dibiasakan. Dan saya, tentu saja ingin percaya bahwa masih mungkin jika saya memiliki kehidupan yang lebih baik, meskipun nggak sebaik orang kebanyakan.

Mungkin fokus yang harus saya lakukan bukanlah bagaimana agar bisa memiliki kehidupan itu. Melainkan fokus pada hal-hal yang harus saya lepaskan agar alirannya dapat berjalan secara alami.

Memberitahu Keluarga Tentang Masalah Kejiwaan

DSC01221Sedikit ironis jika memikirkan bahwa saya lebih terbuka disini, kepada kalian teman-teman blogger sekalian soal kondisi saya dengan Bipolar, ketimbang di dunia nyata kepada keluarga saya sendiri.

Satu-satunya keluarga yang tahu dan mengerti soal kondisi saya adalah kedua orangtua saya. Sementara saya nggak yakin apakah keluarga dekat paham soal kondisi saya. Selain itu ada dua teman yang pernah secara terbuka saya beritahu soal Bipolar.

Yang pertama sebenernya saya beritahu dengan cara yang bikin saya pengen lompat ke jurang berapi kalo ngingetnya. Karena waktu itu saya kumat dong marah-marah sama si temen lewat telepon, sehingga akhirnya mau nggak mau saya “membela diri” menjelaskan tentang kondisi kejiwaan saya. Saya nyesel se-nyesel-nya hingga sekarang karena saya sayang sama sahabat SMS saya itu. Saya tahu dia sudah melewati banyak hal dan saya hanya berharap dia mendapat hal-hal yang memang layak dia dapatkan untuk merasa bahagia.

Belakangan saya juga cerita soal kondisi saya kepada seorang sahabat. Dan sejak itu saya masih suka curcol dan diskusi sama dia soal apapun, soalnya anaknya emang pinter, baik, rajin shalat dan murah hati (kayak slogan majalah anak muslim ha ha).

Saya nggak yakin seberapa penting jika orang tahu dan aware terhadap kondisi saya. Tapi ada aja saat-saat kita berharap keluarga dekat mengerti kondisi kita dan memberikan sikap dukungan.

Ketika kita memiliki gangguan kejiwaan dan sadar akan hal itu, kita nggak mau selamanya bersembunyi dan harus berusaha berkali-kali lipat untuk menghandle diri sendiri dan orang lain yang nggak aware terhadap kondisi kita. Kita akan sangat senang jika orang paham dan bersikap positif, tapi juga bukan mengasihani dan malah menjauhi kita karena dianggap merepotkan atau nggak bisa diandalkan.

Sebagai ODMK saya berharap keterbukaan oleh semua pihak dan semua orang, meningkatkan kesadaran tentang masalah kejiwaan yang dialami banyak orang ini. Kita nggak bisa naif dan berpikir, “Ah itu nggak mungkin terjadi sama saya atau orang dekat saya.” Kita harus menerima dengan hati terbuka bahwa kondisi kejiwaan sama layak untuk diberi perhatian serius dengan penyakit-penyakit lain yang lebih umum.

Memberi pengertian tentang hal semacam itu nggak mudah memang. Apalagi dengan keluarga yang sifat serta karakternya berbeda-beda dalam menanggapi masalah kejiwaan. Akan sulit jika keluarga bersikap terlalu konservatif dan menganggap tabu untuk membahas masalah kejiwaan yang dialami anggota keluarganya.

Saya pernah melakukan kecerobohan yang berakhir dengan penyesalan lainnya ketika berusaha memberi gambaran tentang kondisi saya kepada keluarga. Saya bertengkar dengan salah satu keluarga saya dan saat itu saya berpikir, ternyata memang nggak mudah berusaha membuat keluarga mengerti tentang gangguan kejiwaan. Tapi saya paham semua itu 99,9%-nya adalah kesalahan saya dan gangguan kejiwaan saya. Sisanya hanyalah sikap yang tidak siap dari orang lain terhadap “cara-cara” saya.

Contoh yang paling sering membuat saya merasa terbentur batasan pemahaman ini adalah ketika ngobrol soal “rencana masa depan”. Keluarga saya selalu berpikir saya sama seperti  anak lain dan bisa melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain seperti menyelesaikan pendidikan dan bekerja layaknya orang normal. Mereka berusaha membantu saya dan mengarahkan saya sesuai dengan bakat dan kapasitas saya.

Tapi sayangnya, ketidakpahaman mereka secara penuh tentang kondisi saya itu justru membuat saya tertekan. Saya sempat merasa mereka mendorong saya untuk mencapai standar-standar yang terlalu baik dalam pandangan dan standar kapasitas saya.

Saya dekat dengan keluarga saya sejak kecil, dan saya ingin bisa memercayai mereka terhadap isu saya. Keluarga saya ingin melihat saya dalam imej yang mereka lihat, tapi sayangnya itu bukan seluruhnya diri saya yang sebenarnya. Dan itu dilematis karena saya juga orangnya bukan tipe yang selalu mampu membela dan menyokong prinsip pribadi. Saya masih terlalu kekurangan secara emosional untuk memenuhi keinginan siapapun termasuk diri saya sendiri.

Pengen sebenernya merenung lebih panjang tentang kenap saya sulit berhasil di dunia nyata. Tapi sampai disini, saya hanya berharap lebih banyak keluarga Indonesia lebih terbuka terhadap masalah kejiwaan dan bahwa ini bukan tabu atau aib, tapi merupakan peluang untuk mempererat kekeluargaan dengan sikap terbuka dan kemanusiaan serta kasih sayang. Plis jangan ada lagi yang dipasung karena menderita gangguan kejiwaan. Semua orang layak mendapat pengobatan yang layak, dan pada akhirnya, kehidupan yang lebih baik.

Life Is SO BAD If…

i create my lifeApa yang saya pelajari dari pengalaman dengan derealisasi dan depersonalisasi ini adalah: HIDUP BEGITU BURUK jika kita BERFOKUS PADA HAL-HAL NEGATIF-nya saja.

Maksudnya, hampir setiap hari dan setiap saat saya selalu menemukan hal/alasan yang saya keluhkan atau menjadi alasan bagi saya mengeluarkan komentar buruk. Mulai dari tayangan televisi, perilaku orang-orang di tempat umum hingga orang-orang di sekitar termasuk diri saya sendiri.

Saat mengalami derealisasi saya mudah menjadi panik oleh hal-hal kecil. Bagaimana jika saya benar-benar kehilangan akal saya alias gila, bagaimana jika saya akan seperti ini selamanya, bagaimana jika saya tak bisa lagi merasakan emosi, bagaimana jika ini semua adalah azab Tuhan atas semua dosa-dosa saya…

Saya pun mulai mengingat semua hal-hal yang saya sudah saya lalui, pernah saya punya, kemudian mempertanyakan apakah semua kenangan itu nyata.

Semua “bagaimana jika” ini justru memperburuk perasaan saya dan memicu panik. Tapi untunglah saya berinisiatif mencari informasi di Internet (dan saya bersyukur karena masih bisa mengakses Internet) sehingga saya jadi tahu kalau saya tidak sendiri dan gejala ini akan berlalu.

Saya belajar bahwa derealisasi dan depersonalisasi (DPD) merupakan gejaka anxietas atau kecemasan. Dalam kasus saya, kecemasan saya dipicu oleh masalah pendengaran saya yang disusul dengan serangan panik. Beberapa tanda yang saya rasakan adalah adanya tekanan di dada (depan hingga belakang), kekakuan pada leher dan kepala belakang yang tak bisa segera hilang. Tubuh terasa lemah dan motivasi untuk melakukan apapun menghilang, sehingga terkadang gejala ini disalah diagnosa sebagai depresi.

Setelah tiga hari pengobatan dengan Alprazolam dan Aripiprazole berangsur-angsur saya merasa lebih baik. Setiap bangun tidur saya berusaha meyakinakan diri saya bahwa DPD saya sudah membaik dan nyaris hilang.

Selain menjalani pengobatan sesuai rujukan dokter, ada beberapa hal lagi yang bisa saya sarankan:

  • Jangan hanya diam dan merasakan gejala DPD karena itu hanya akan mengacaukan pikiran dan memperburuk suasana hati. Beraktivitaslah secukupnya. Cobalah membaca meski sedikit. Berkendaralah sebentar, tapi hindari situasi sosial yang rumit karena itu justru bisa memicu ketegangan dan rasa panik.
  • Lakukan hal-hal yang biasanya memicu dirimu menjadi sangat emosional. Misalnya melihat foto-foto lama kamu dan keluargamu, atau seperti saya menulis fiksi dimana kamu bisa membayangkan emosi-emosi yang berbeda dari karakter-karakter dalam cerita, mendengarkan musik dengan genre yang berbeda-beda, membaca komik. Pokoknya hal-hal dan kegiatan-kegiatan yang memicu emosi yang signifikan.
  • Coba ajak ngobrol teman atau sahabatmu. Ceritakan pada mereka tentang kondisimu dan ajak mereka membahas hal-hal ringan dan menyenangkan untuk membangkitkan mood.
  • Belajarlah mengatasi emosi negatif seperti marah dan kesal, karena itu bakal memperburuk keadaan dan membuatmu lekas panik. DPD ini mengajari saya supaya lebih bersabar dan menjaga pikiran dari pikiran-pikiran negatif dan destruktif lebih getol dari yang biasa saya harus lakukan. Karena saya tahu marah dan kesal hanya akan membuat saya panik dan memperburuk keadaan.

Saat ini telinga saya masih sesekali sakit dan pendengaran dari teling kanan saya ini belum sempurna. Tapi secara mental, saya sudah bisa mulai ngerasa “kaget”, 😆 kesal, risih, gelisah, mondar-mandir, senyum karena nginget sesuatu… Sementara saat awal-awal DPD menyerang saya ngerasa seperti zombie yang nggak memiliki emosi dan jiwa. Meski belum sepenuhnya berenergi dan fit yang sebagiannya mungkin karena efek obat-obatan yang bikin lemes. Tapi tekanan di dada sudah nyaris hilang dan saya bisa bernafas lebih lancar.

Semoga semua teman dianugerahi kesehatan dan umur panjang. Amin.

Derealization/Depersonalization

derealization

sumber gambar: imgur.com/GK15Nje

Depersonalisasi (DP) dan derealisasi (DR) adalah perasaan terburuk yang pernah saya rasakan selama menderita Bipolar. DP/DR dipicu oleh anxietas atau kecemasan tinggi dan serangan panik.

Semuanya dimulai ketika Sabtu lalu telinga kanan saya mengalami infeksi sehingga pendengaran saya terganggu. Dalam kondisi yang memang sudah kacau dengan episode manik-depresif dan tidur yang sangat kurang dan tak tentu, saya mengalami semacam serangan panik ketika saya nggak bisa memperbaiki pendengaran saya saat itu juga walau sudah dikorek-korek dengan cotton bud.

Akhirnya saya minta Bapak saya pulang dari acara nikahan sepupu supaya bawa saya ke klinik. Di klinik pertama saya diberi semprotan yang membantu pendengaran saya jadi lebih lega. Walau hingga sekarang pendengaran saya masih belum sempurna betul karena di klinik kedua dokter bilang terjadi infeksi pada gendang telinga saya.

Hal tak menyenangkannya belum berhenti sampai disitu. Karena saya masih mengalami kecemasan dan rasa panik. Nafas saya langsung sesak jika saya memaksa menggunakan tenaga dan emosi. Semuanya terasa nggak nyata, seperti bermimpi, dan saya mulai meragukan mana yang nyata dan mana yang tidak. Saya bisa berpikir, melihat dan menyentuh, tapi semua itu nggak memicu emosi apapun seperti dalam kondisi normal. Dan itu rasanya sangat mengerikan. Saya takut saya tidak bisa mengontrol pikiran dan tubuh saya seperti semula lagi.

Setelah serangan panik, malam harinya Bapak membawa saya ke rumah dokter psikiater yang biasa saya datangi. Sayangnya dokter sedang pergi ke luar negeri dan baru kembali besok malamnya. Kami dirujuk ke rumah sakit jiwa dimana suster yang biasa mendampingi dokter bekerja.

Supaya bisa istirahat malam itu, kami mencoba mendapat pengobatan dari rumahsakit. RS pertama nggak bisa memberikan karena dokter spesialis kejiwaan mereka juga sedang tidak bisa hadir. Akhirnya Bapak membawa saya ke RS Pirngadi dimana saya mendapat serangan panik lagi saat baru meninggalkan lapangan parkir. Seorang bapak-bapak yang sedang naik motor dengan sigap membantu saya dan memberi saya tumpangan hingga ke IGD. Sampai sekarang saya masih ngerasa salut dan berterimakasih sama bapak yang nggak saya kenal itu karena membantu dengan sigap, padahal dia nggak terlihat seperti tenaga medis.

Di IGD saya berbaring sambil menunggu dokter. Saya mencoba menjelaskan kondisi saya dan ternyata si dokter nggak langsung familiar dengan kondisi kejiwaan Bipolar. Akhirnya saya diusahakan mendapat pengobatan dengan diagnosa gangguan kecemasan. Saat itu DP/DR masih terus berlangsung dan saya merasa takut hanya untuk memejamkan mata, karena saya takut terputus dari dunia nyata selamanya. Tapi karena suasana IGD yang cukup ramai saya mencoba merasa nyaman memejamkan mata untuk beristirahat. Beberapa lama kemudian, Bapak saya kembali dari apotek dengan obat yang diresepkan dan kami pun kembali ke rumah.

Malam itu saya beristirahat cukup baik, dan kondisi DP/DR saya rasakan juga sedikit membaik, meski belum pulih total.

Besok paginya Bapak membawa saya lagi menemui suster di RSJ yang lantas memberi saya obat pengganti sementara supaya saya bisa istirahat. Saya merasa lebih baik setiap sehabis istirahat. Tiap terbangun saya mencoba merasakan apakah DP/DR-nya sudah hilang, tapi ternyata saya masih belum pulih total. Leher dan bagian belakang kepala saya masih terasa kejang dan saya mudah sesak/panik jika menggunakan banyak tenaga atau emosi.

Senin sore saya baru bisa menemui psikiater dan saya menceritakan semua yang terjadi. Dokter memberi saya Frixitas dan Abilify dan berharap kondisi saya membaik dalam 5 hari.

Saat ini pendengaran telinga kanan saya masih belum sempurna. Kondisi DP/DR juga masih belum pulih total. Saya masih merasa seperti seperempat bermimpi, tapi saya tahu kondisinya bakal semakin buruk kalau saya terlalu fokus dan mencemaskan hal ini. DP/DR hanyalah gejala anxietas yang bakal membaik dengan sendirinya.

Saya hanya berharap bisa pulih dari kondisi ini dan tak pernah mengalaminya lagi. Dan semoga tak ada orang lain yang mengalaminya.

Jika kamu sedang menderita kondisi ini, sebaiknya fokuskan pikira pada hal-hal lain. Baca artikel, forum atau tonton video tentang DP/DR karena kamu sama sekali tidak sendiri (74% populasi pernah mengalaminya).

What Is Life?

Life is a characteristic that distinguishes objects that have signaling and self-sustaining processes from those that do not, either because such functions have ceased (death), or else because they lack such functions and are classified as inanimate. Wiki

what is life

Menelusuri kisah dan pengalaman orang lain dengan Bipolar dan depresi, selain jadi merasa nggak sendirian dalam perjalanan, saya jadi mempelajari betapa beragam cara orang mengekspresikan pandangannya tentang kehidupan.

Sebagian orang memandang hidup sebagai sesuatu yang simply doesn’t work for them, tidak adil dan penuh paksaan. Sebagian lagi mencoba memberi pandangan yang lebih positif dan mengevaluasi nilai-nilai yang dimiliki kehidupan. Sebagian lagi, terjebak diantara usaha untuk memihak salah satu sudut pandang.

Dari sini saya mengartikan bahwa kehidupan adalah sebuah kondisi yang tidak secara harafiah memiliki kendali atas diri pelakunya, kecuali mengaplikasikan aturan berbasis sebab-akibat.

Sebaliknya saya rasa kita secara sederhana memiliki kuasa penuh atas kehidupan. Tidak terlalu penting jika saat ini kita tidak tertarik atau terlalu lemah untuk membuat diri merasa memegang kendali, ataupun mencapai hal-hal menakjubkan yang kita inginkan. Kita mungkin menyaksikan arus orang-orang yang mencapai hal-hal baik dalam hidupnya, sementara kita tahu kita hanya akan berhasil sedikit saja atau tidak sama sekali, kemudian menyalahkan kehidupan seolah kehidupan itu adalah sosok tiran yang tidak bertanggungjawab.

Kehidupan adalah kondisi yang dialami secara berbeda-beda oleh tiap orang. Dan kondisi ini bukanlah vonis, melainkan status yang masih selalu bisa dimodifikasi dan diperbaiki.

Ya, kamu memang punya masalah kejiwaan, Ya, kamu punya banyak masalah lainnya yang belum bisa kamu singkirkan. Lebih spesifik lagi, kamu nggak yakin apakah bisa masuk universitas impian, dapet pekerjaan untuk menghidupi diri, berbaikan dengan keluargamu, menghadapi trauma psikologis, membesarkan anak dan menghidupi keluarga, di tengah naik-turun kondisi kejiwaan yang sulit diprediksi dan bisa jadi destruktif.

Yang membuat kita frustasi dalam keadaan-keadaan ini adalah kita terlalu fokus pada harapan-harapan yang direnggut dari jangkauan kita. Kita sering lupa pada usaha-usaha kecil untuk merawat kondisi diri kita sebagai pribadi yang unik dan memiliki kebutuhan dan cara perlakukan yang khusus. Ingatlah bahwa pilihan itu tidak hanya terbatas pada apa yang “layak” bagi pandangan umum. Ada banyak hal yang bisa kamu coba sesuai dengan kepribadianmu.

Fokus pada dirimu dan sadari bahwa kamu harus menciptakan ruang dimana kamu bisa berpikir secara luas dan terbuka. Kesejahteraanmu adalah yang paling penting. Kamu harus cukup kuat secara mental sebelum mulai menyusun prioritas dan mencoba menyelesaikan masalah. Usahakan pengobatan, terapi, atau apapun untuk merawat kondisi mentalmu. Hasilnya mungkin bukanlah kesempurnaan yang instan, melainkan pengalaman dan gagasan baru tentang standar pencapaian yang lebih tinggi ketika kamu merasakan kondisi yang setahap lebih baik dari sebelumnya.

Saya tidak akan pernah mengatakan bahwa kehidupan itu sebenarnya indah dan penuh harapan. Tapi kita juga harus berhenti mempersonifikasi kehidupan sebagai sosok bully yang harus menebus perilaku tidak adilnya terhadapmu. Kehidupan hanyalah sebuah kondisi. Kamu yang menentukan bagaimana memperlakukan kondisi ini.

Take your time. Take what you deserve. Don’t try to achieve one big shiny thing in your whole life. Try to experience various things that interest you, instead. Pada akhirnya kamu akan sadar bahwa kamu memberi imej pada kehidupan berdasarkan bagaimana kamu memperlakukannya, bukan bagaimana kehidupan memperlakukanmu.

Bagaimana definisi kehidupan bagimu sejauh ini?

Tips Mengatasi Efek Samping Antipsikotik

Salah satu kata kunci yang masuk ke blog saya adalah mengenai “efek samping Luften”.

Luften (Clozapine) adalah golongan atypical antipsychotic yang sebelumnya umum digunakan dalam perawatan Skizofrenia. Namun kemudian setelah penelitian lebih lanjut digunakan pula dalam perawatan Bipolar karena memiliki efek menstabilkan mood. – Pyschcentral

Selain Luften antipsikotik lain yang banyak dijumpai adalah Seroquel (quetiapine), Abilify (aripiprazole), Risperdal (risperidone) dan Zyprexa (olanzapine).

anxious-irritableBeberapa efek samping antipsikotik ini antara lain lemes, ngantuk, sluggish/lembam (melempem), kecemasan (anxiety), ketegangan hingga mudah marah atau kesal.

Ketika efek-efek samping ini menguasai memang sangat nggak menyenangkan terutama ketika kita harus berada dalam situasi sosial. Seusai beraktivitas kita bisa jadi merasa tegang hingga mudah kesal.

Salah satu jalan yang terpikir oleh saya itu seringkali “Udah deh abis ini pause dulu minum obatnya” tapi hari berikutnya tetep aja diminum lagi supaya bisa tidur malem.

Sebenernya kita bisa mencoba mengatasi emosi dan mood yang kacau yang disebabkan efek samping antipsikotik ini. Beberapa diantaranya adalah:

  1. Jalan-jalan cari udara segar. Cari tempat yang tenang dimana kamu bisa berpikir sesuka hati dan mengekspresikan perasaan tanpa takut terganggu atau mengganggu orang lain. Saya biasanya keliling-keliling naik motor di jalan-jalan yang cenderung sepi seperti jalan-jalan utama dekat perumahan elit hingga pelosok-pelosok gang (me-nyasarkan diri he he). Jangan lupa sediakan bensin yang cukup.
  2. Talk to someone. Ajak temen ngobrol atau chatting. Dengarkan cerita sehari-hari dari dia. Mendengarkan teman yang memiliki lebih banyak energi darimu bisa menularkan sedikit optimisme dan energi positif.
  3. Silahkan menangis atau berteriak jika memang terasa perlu dilakukan. Cari tempat yang sepi, atau menangislah di pelukan pacar atau sahabat yang kamu percayai. Setelah itu jangan lupa ungkapkan bahwa kamu sudah merasa lebih baik dan percaya serta aman bersamanya.
  4. molor dengan gantengRilekskan diri dengan istirahat dan tidur. Minum air mineral yang banyak. Setelah keringetan ngadem deh tuh pake AC atau kipas, trus usahakan tidur atau setidaknya berbaring santai. Dengarkan musik favorit atau yang menenangkan. Pikirkan bahwa kamu sedang berusaha menguasai perasaan yang nggak enak ini, karena kamu tahu ini bisa dihilangkan dan dikendalikan. Tidurlah dan mudah-mudahan setelah bangun pikiran dan perasaanmu akan lebih baik.
  5. Hindari konsumsi kafein seperti kopi yang bisa memicu kecemasan dan ketegangan. Salah satu efek samping lain dari obat-obatan antipsikotik adalah berat badan naik. Maka sebisa mungkin jaga pola makan. Jangan terlalu banyak makan apalagi yang cepat meningkatkan kadar gula darah karena bisa bikin kita berasa lamban dan berat.
  6. Belajar sesuatu setiap hari. Asah otak dengan pengetahuan-pengetahuan baru yang menarik minat kamu. Tapi jangan biarkan otak terlalu lelah juga supaya nggak memicu ketegangan. Seimbangkan dengan sajian yang ringan, menghibur dan merilekskan seperti menonton film atau melihat gambar-gambar yang lucu dan menyenangkan.

Demikian beberapa tips dari saya pribadi. (Maaf kalau kurang bersesuaian dengan anjuran terapis he.) Semoga sedikit-banyaknya bermanfaat.

Dr. Freddy

Saya memulai lagi pengobatan saya di psikiater Selasa lalu.

Kebetulan Dr. Donald yang biasa saya temui nggak ada di tempat, jadinya manggil dokter pengganti, namanya Dr. Freddy. Eh dokter penggantinya malah lebih ‘murah hati’ dan talkative nerangin soal Bipolar ke saya dan Mamak saya.

Saya dikasih Abilify discmelt 15mg dan Luften 25mg. Awal-awal minum reaksinya memang bikin ‘kaget’ karena udah setahunan saya nggak kena obat-obatan. Emosi saya bener-bener labil dan irritated. Kemarin udah pengen ke warnet (laptop di rumah rusak) tapi tiba-tiba saya merasakan kondisi saya nggak mendukung untuk melakukan apapun malam itu dan berbalik pulang.

Episode depresi saya sebenarnya udah mulai sejak akhir April. Saya mulai suka self-harm lagi, dan suasana rumah sama sekali nggak nyaman buat saya. Kemanapun saya pergi ‘suara-suara’ itu selalu ada dan bikin saya down.

Sebenernya sudah lama saya ingin dimasukkan RSJ saja. Saya ingin merasakan perbedaan perawatan di rumah dan RSJ. Tapi bagaimanapun rawat inap seperti itu butuh biaya.

Well, saya hanya berdoa dan selalu yakin Allah tahu yang terbaik buat saya. Amin.

Mungkin saya nggak bisa sering-sering update selama laptop saya masih rusak, jadi ya mudah-mudahan yang baca masih bisa liat-liat dan ngambil manfaat dari tulisan-tulisan saya yang lain di blog ini ya.