Sedikit ironis jika memikirkan bahwa saya lebih terbuka disini, kepada kalian teman-teman blogger sekalian soal kondisi saya dengan Bipolar, ketimbang di dunia nyata kepada keluarga saya sendiri.
Satu-satunya keluarga yang tahu dan mengerti soal kondisi saya adalah kedua orangtua saya. Sementara saya nggak yakin apakah keluarga dekat paham soal kondisi saya. Selain itu ada dua teman yang pernah secara terbuka saya beritahu soal Bipolar.
Yang pertama sebenernya saya beritahu dengan cara yang bikin saya pengen lompat ke jurang berapi kalo ngingetnya. Karena waktu itu saya kumat dong marah-marah sama si temen lewat telepon, sehingga akhirnya mau nggak mau saya “membela diri” menjelaskan tentang kondisi kejiwaan saya. Saya nyesel se-nyesel-nya hingga sekarang karena saya sayang sama sahabat SMS saya itu. Saya tahu dia sudah melewati banyak hal dan saya hanya berharap dia mendapat hal-hal yang memang layak dia dapatkan untuk merasa bahagia.
Belakangan saya juga cerita soal kondisi saya kepada seorang sahabat. Dan sejak itu saya masih suka curcol dan diskusi sama dia soal apapun, soalnya anaknya emang pinter, baik, rajin shalat dan murah hati (kayak slogan majalah anak muslim ha ha).
Saya nggak yakin seberapa penting jika orang tahu dan aware terhadap kondisi saya. Tapi ada aja saat-saat kita berharap keluarga dekat mengerti kondisi kita dan memberikan sikap dukungan.
Ketika kita memiliki gangguan kejiwaan dan sadar akan hal itu, kita nggak mau selamanya bersembunyi dan harus berusaha berkali-kali lipat untuk menghandle diri sendiri dan orang lain yang nggak aware terhadap kondisi kita. Kita akan sangat senang jika orang paham dan bersikap positif, tapi juga bukan mengasihani dan malah menjauhi kita karena dianggap merepotkan atau nggak bisa diandalkan.
Sebagai ODMK saya berharap keterbukaan oleh semua pihak dan semua orang, meningkatkan kesadaran tentang masalah kejiwaan yang dialami banyak orang ini. Kita nggak bisa naif dan berpikir, “Ah itu nggak mungkin terjadi sama saya atau orang dekat saya.” Kita harus menerima dengan hati terbuka bahwa kondisi kejiwaan sama layak untuk diberi perhatian serius dengan penyakit-penyakit lain yang lebih umum.
Memberi pengertian tentang hal semacam itu nggak mudah memang. Apalagi dengan keluarga yang sifat serta karakternya berbeda-beda dalam menanggapi masalah kejiwaan. Akan sulit jika keluarga bersikap terlalu konservatif dan menganggap tabu untuk membahas masalah kejiwaan yang dialami anggota keluarganya.
Saya pernah melakukan kecerobohan yang berakhir dengan penyesalan lainnya ketika berusaha memberi gambaran tentang kondisi saya kepada keluarga. Saya bertengkar dengan salah satu keluarga saya dan saat itu saya berpikir, ternyata memang nggak mudah berusaha membuat keluarga mengerti tentang gangguan kejiwaan. Tapi saya paham semua itu 99,9%-nya adalah kesalahan saya dan gangguan kejiwaan saya. Sisanya hanyalah sikap yang tidak siap dari orang lain terhadap “cara-cara” saya.
Contoh yang paling sering membuat saya merasa terbentur batasan pemahaman ini adalah ketika ngobrol soal “rencana masa depan”. Keluarga saya selalu berpikir saya sama seperti anak lain dan bisa melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain seperti menyelesaikan pendidikan dan bekerja layaknya orang normal. Mereka berusaha membantu saya dan mengarahkan saya sesuai dengan bakat dan kapasitas saya.
Tapi sayangnya, ketidakpahaman mereka secara penuh tentang kondisi saya itu justru membuat saya tertekan. Saya sempat merasa mereka mendorong saya untuk mencapai standar-standar yang terlalu baik dalam pandangan dan standar kapasitas saya.
Saya dekat dengan keluarga saya sejak kecil, dan saya ingin bisa memercayai mereka terhadap isu saya. Keluarga saya ingin melihat saya dalam imej yang mereka lihat, tapi sayangnya itu bukan seluruhnya diri saya yang sebenarnya. Dan itu dilematis karena saya juga orangnya bukan tipe yang selalu mampu membela dan menyokong prinsip pribadi. Saya masih terlalu kekurangan secara emosional untuk memenuhi keinginan siapapun termasuk diri saya sendiri.
Pengen sebenernya merenung lebih panjang tentang kenap saya sulit berhasil di dunia nyata. Tapi sampai disini, saya hanya berharap lebih banyak keluarga Indonesia lebih terbuka terhadap masalah kejiwaan dan bahwa ini bukan tabu atau aib, tapi merupakan peluang untuk mempererat kekeluargaan dengan sikap terbuka dan kemanusiaan serta kasih sayang. Plis jangan ada lagi yang dipasung karena menderita gangguan kejiwaan. Semua orang layak mendapat pengobatan yang layak, dan pada akhirnya, kehidupan yang lebih baik.